JALAN TAKDIR

Dengan nafas yang ngos-ngosan dan wajah terlihat agak kusam,berhias debu dan keringat, sang ustadz memasuki sebuah padepokan belajar yang dikelilingi hamparan padi yang hijau, pepohonan yang tinggi menjulang disertai hembusan semilir angin di ujung desa nan jauh di sana. Dengan suara lirih sang ustadz mengucapkan salam “ assalamualaikum “, maaf saya terlambat, kata sang ustadz. Ahmad namanya,sosok santri muda dari sebuah pondok pesantren tengah kota yang mendapatkan tugas dari sang kyai untuk mengajar sebagai bentuk pengabdian. Dengan paras wajah mirip orang timur tengah, badannya tinggi dan kulitnya putih, serta cakap dalam ilmu agama namun agak kurus menggambarkon sosok Ahmad yang dalam keseharianya dipanggil kang Mad oleh sang kyai. Maklum  sebagai seorang santri yang masih menuntut ilmu, harus dibarengi dengan tirakat. Kepandaian dalam ilmu agama, serta ketawadhuanya menjadi salah satu sebab dipilihnya Ahmad untuk membantu sang kyai berdakwah.
Dengan menggunakan sepeda tua yang mulai tidak bersahabat, rantai tua, krieek...krieek ,bunyi pedal ketika diayuh seakan suara burung yang bersautan, bahkan sandal menjadi semakin tipis karena setiap hari menggantikan rem depan yang sudah blong, sang ustadz muda ini harus menempuh jarak 10 kilo setiap harinya untuk sampai di tempat tujuan. Kesabaran dan keikhlasan yang selalu ditanamkan oleh sang kyai menjadi penyemangat dalam menjalani ativitasnya. Patuh pada guru itu juga berarti mengabdi, karena Imam Syafi’i mensyaratkan para santri untuk mencari, selain berbekal ketekunan, kesabaran, materi,juga taat kepada guru. Pesan yang disampaikan sang kyai itu selalu melekat dalam hati dan fikiran Ahmad.
“Silahkan dibuka kitabnya“,perintah sang ustadz dengan lembut. “sekarang kita akan mempelajari bab tentang jumlah ismiyyah “, lanjut sang ustadz. Hari ini merupakan pengalaman pertama Ahmad mengajar, kicauan burung ditengah-tengah hamparan padi yang hijau semakin menambah kekhusu’an dan kenyamanan dalam pembelajaran. Dengan sesekali mengeluarkan senyum khasnya disertai lesung pipi yang menggores wajahnya, seakan memberikan tamsil kepada para santri bahwa islam itu ramah, tebarkan salam diantara kita semua. Sang ustadz memulai pembelajaran dengan membacakan beberapa nadzom, lalu menjelaskan maksud dari nadzom yang sudah dibaca. Dengan keilmuan bak seluas samudera, suara yang lembut, dan pemaparan yang lugas, serta mudah difahami, sang ustadz mampu memasukkan cahaya ilmu kepada para santri bak sinar matahari menyinari bumi. Dan maklum saja, dalam bisik-bisik , sang ustadz mulai banyak dikagumi para santri.
Sebulan berlalu sang ustadz muda ini mulai terbiasa dengan tugas yang diberikan sang kyai, mengayuh sepeda tua, debu, keringat, wajah kusam sudah menjadi sahabat kesehariannya. Al Khalwa namanya, Pesantren yang menjadi tempat pengabdian sang ustadz dalam mencari keberkahan dan keridho’an sang kyai. Al Khalwa merupakan pesantren khusus untuk putri, dikenal sangat disiplin, dan banyak menghasilkan ahli ilmu. Selain kharisma pendiri yang begitu besar, Al Khalwa juga dikenal sebagai pesantren desa dengan ribuan santri.
”Ustadz dapat salam dari ikrimah”, ucap salah satu santri. Bak disambar petir, anganpun melayang tinggi, seperti burung dara yang terbang entah ke mana. Sang ustadz mulai terbesit dalam fikiran Ikrimah anaknya yang mana ya?. Sambil memandang langit, bola mata ke kanan dan ke kiri sang ustadz mulai membayangkan wajah muridnya satu-persatu, Ah..saya kok lupa ya. Astaghfirullah....ucap sang ustadz dalam hati.”Jangan sampai niat lurus dibelokkan sama syaithon”, lanjutnya.
“Assalamualaikum”, sang ustadz berjalan memasuki padepokan belajar dan melihat para santri dengan wajah merunduk sebagai bentuk hormat ilmu kepada sang pemberi ilmu. Dalam tradisi pesantren pembelajaran akhlaq sangat ditekankan, tak heran jika para santri begitu hormat pada gurunya.
Ada yang berbeda dengan hari ini, Ahmad merasakan detakan jantung yang bergolak kencang bak badai menghantam samudera, mulutnya selalu komat kamit lirih mengucapkan istighfar untuk menengkan hatinya yang terombang ambing bagai diterpa ombak semenjak mendapatkan salam dari santrinya. Fikiranya mulai tidak fokus dan pandanganya tidak menentu seakan ingin segera mengetahui siapa sosok santri yang bernama ikrimah. Bersambung.
 “ Silahkan dibaca neng “, perintah sang ustadz pada salah satu santri. Dengan suara lembut namun menampakkan ketegasan, sang santri putri ini mampu membaca kitab dengan sangat lancar dan teliti.Penjelasan yang diuraikan hampir mendekati sempurna dan mampu memunculkan permasalahan baru yang untuk dibahas.
Masya Allah, luar biasa, gumam sang ustadz.
“ Siapa namamu nduk ?,” tanya sang ustadz.
“ Ikrimah “, jawabnya pelan.
Dalam tradisi pesantren, panggilan untuk santri putra biasanya dipanggil kang, dan untuk santri putri dipanggil mbak, nduk, atau neng.
 Busur-busur panah setan telah diluncurkan bak menghujam tepat di jantung sang ustadz. Bunga-bunga asmara ditebar untuk menmburamkan cahaya terang yang bersemayam di dada. Sang ustadz mulai bimbang akan sebuah pilihan.Kegalauan semakin memuncak karena sosok santri yang mengirim pesan salam dengan sejuta makna tersimpan telah nampak dihadapanya.
Ya, Ikrimah namanya, merupakan santriwati dengan kecerdasan diatas rata-rata, beberapa nadzom sudah dihafal tidak lebih dari sebulan, seperti imrithi dan alfiyah. Bahkan kitab-kitab seperi fathul qorib, fathul mu’in mampu dijelaskan dengan baik dan sempurna.
Hari ahad merupakan hari libur kegiatan di Al-Khalwa, seluruh santri melaksanakan ro’an, atau dalam bahasa indonesianya adalah bersih-bersih. Ada yang menyapu, mengepel lantai, kaca, atau bersih-bersih kamar mandi. Beberapa santri mengeringkan baju yang telah dicuci di atap pesantren. Ahmad berjalan mengelilingi kompleks pesantren dan mengecek satu persatu kamar apakah sudah beres, kebetulan hari itu Ahmad mendapatkan tugas khusus dari sang kyai.
“ Ustadz ini dari ikrimah “, ucap salah satu santri. Dengan tergopoh-gopoh langsung lari menuju kamarnya setelah memberikan selembar kertas pada sang ustadz.
Apa ini ? Dalam hati ustadz berbisik.
Surat ? Berani-beraninya santri itu.
Namun entah kenapa, tiba-tiba hati sang ustadz penasaran dengan isi tulisan tersebut.
Uhibbuka jiddan, Sebuah tulisan yang membuat air lidah mengering tidak bisa berkata-kata.
Tidak tau harus marah atau suka !.Sebagai seorang yang menuntut ilmu, hal semacam itu menjadi pantangan, sedangkan secara umur seharusnya memang ahmad dan ikrimah sudah pantas untuk menikah. Tapi apakah harus dengan cara seperti itu ? tanya ahmad pada diri sendiri.
Apakah saya harus mengatakan pada kyai ? Ah jangan, nanti urusanya tambah lebar.
Seminggu berlalu, sebenarnya sang ustadz ingin melupakan peristiwa yang terjadi namun bayangan sosok ikrimah masih selalu menari-nari dalam angan sang ustadz seolah tak ingin pergi walau guyuran istighfar dikumandangkan. Dalam keseharian sang ustadz tetap melanjutkan aktivitas mengajar namun disertai hal yang tidak lazin dan bergolak dalam hati.
Astaghfirullah
Astaghfirullah.
Harus kuputuskan ! Semua karena ALLAH, “ Ucap Ahmad dalam hati “.
“Maaf ustadz, ada apa ya”. Tanya Ikrimah dengan suara lembut ciri khasnya, yang apabila orang lain mendengan pasti bergetar hatinya. Suaranya lembut bak gemericik air pegunungan, wajahnya putih bagai rembulan di bulan purnama, dan sikapnya santun bagai khodijatul kubro.

“ Maaf saya menolak cintamu “, ucap Ahmad.
“ tidak bolehkan saya mengungkapkan rasa kekagumanku karena Allah “, Jawab Ikrimah.
“ Ini bukan karena ALLAH, tapi nafsu “, sahut Ahmad.
Tak terasa guyuran air telah membasahi pipi Ikrimah, tanpa berkata-kata Ikrimah berlari dan meninggalkan pembahasan tanpa pesan dan alasan. 

Seminggu berlalu, Ikrimah tidak menampakkan diri dalam kegiatan pembelajaran di padepokan, mengurung diri di kamar, tidak pernah terucap kata kecuali bahsa air mata yang selalu mengalir deras di pipinya. Bujuk rayu tak mampu menghentikan rajutan perasaan yang sudah tercerai berai karena ledakan kata yang menghancurkan. Bak angin berhembus, kabar sudah terdengar dari telinga ke telinga sehingga seluruh penghuni komplek mengetahui peristiwa yang terjadi.
 “ Ikrimah ditolak ustad “, “Ikrimah mengurung diri di kamar “, bisik-bisk para santri.
Kabar itu akhirnya terdengar sampai kepada Pak kyai. Hingga pada suatu malam sang Ustadz dipanggil menghadap kepada pak Kyai untuk menanyakan kebenaran berita yang sedang ramai.
“ benarkah berita itu le?”, Ucap pak kyai
“ Be..benar pak Kyai “, Jawab Ahmad.
“ Kamu tidak suka dengannya ?” lanjut pak kyai
Ahmad sejenak terlihat bingung dan tidak bisa berkata apa-apa.
“ Bukan tidak suka pak kyai, tapi,,,,!!!
“ya wes, gini aja “, kata pak kyai. “ kalau kamu tidak suka, biar saja Ikrimah Boyong dari Pondok biar tidak menjadi beban pikiranya.
Ahmad seolah ingin menyampaikan pesan bahwa sebenarnya dalam hati kecilnya ada rasa suka, tetapi tidak dengan jalan sperti itu. Sang ustadz ini mengharapkan agar pak kyai menjodohkannya bukan memulangkanya. Apa daya seorang murid dihadapan guru, hanya kata “ya” yang bisa diucapkanya.
Sebulan berlalu, kegiatan pesantren tetap seperti aktivitas pada umumnya. Namun tidak seperti pada Ahmad. Sang guru muda ini diliputi rasa khawatir terhadap apa yang terjadi pada Ikrimah. Sedikit banyak, penyebab kepulangan Ikrimah dari pondok adalah dirinya. “Semoga Ikrimah mendapatkan kebahagian ditempat yang baru “, doa sang ustad.
“ le, sekarang kamu say tugaskan untuk mengajar ke Pondok Pesantren Al Huda “ ucap pak kyai
. Dalam hati ahmad berucap,inikan pondok besar dengan santri puluhan ribu dan sangat tersohor di kalangan pesantren dan pengasuh kyai yang kharismatik. Ahmad mendapatkan tugas untuk menemui pak Kyai Salim untuk menyampaikan isi surat.
“ surat ini berikan kepada beliau, jangan pulang sebelum mendapatkan balasan “, lanjut pak kyai
“ geh kyai “.
Pondok pesantren Al-Huda terletak sekitar 20 KM dari pondok tempat Ahmad mengajar, Seperti keseharianya, sepeda tua selalu menemani dalam setiap perjalan sang ustad muda ini. Perjalanan ditempuh hampur seharian, setibanya di sana Ahmad menyampaikan kepada santri penjaga gerbang bahwa beliau mendaptkan amanat dari pak Kyai salim untuk mengantarkan surat secara langsung.
“silahkan masuk “,
“ itu dalem pak kyai salim”, sambut santri penjaga gerbang.
“Masya Allah “, gumam Ahmad lirih. Bangunan yang begitu besar dengan ribuan santri, namun terheran ketika melihat rumah pak Kayi Salim sangn sungguh sangat sederhana. Dengan perlahan Ahmad melangkahkan kaki menuju dalem pak Kayi.
“ Assalamualaikum “,
“ Wa’alikum salam”
Suara besar yang berkharisma menunjukkan bahwa pak Kyai Salim lah yang langsung menerima beliau.
“ Ahmad ya “, kata pal kyai.
“ Saya sudah diberitau kyaimu kalau hari ini ada santrinya yang bernama Ahmad akan kesini “. Ahmad segera mencium tangan sebagai rasa hormat, selanjutnya memberikan pesan surat dari pak kyai.
“ ya,,,ya,,ya “, kata yang diucapkan pak kyai salim setelah membaca surat itu.
“ nduk buatkan teh, ada tamu istimewa “, ucap pak kyai.
“ geh ba “, sahut perempuan yang berada di dalam rumahnya.
Tak selang beberapa lama, betapa kagetnya bahwa wanita yang membuatkan teh itu adalah Ikrimah, wanita yang sempat membuat heboh warga pondok pesantren Al-Khalwa.
“ niki tehya ba “
“ ya , terima kasih”.
            Itu Ikrimah, putriku satu-satunya. Ahmad hanya termenung dan diam seribu bahasa, sang ustadz muda ini masih belum bisa percaya bahwa yang barusan lewat adalah Ikrimah. Setelah itu terjadi dialog bersama antara Ahmad dengan Pak Kayi Salim.
“ Gini Le “, saya mau tanya ?

“ Maukah kamu menjadi Imam anakku Ikrimah ? “ Tanya pak kyai. Bersambung

#60HMB
#SMILE
#SalamLiterasi


Posting Komentar

0 Komentar